Profil Pahlawan : Pangeran Antasari : Pahlawan Dan Khalifah Rakyat Banjar



Pangeran Antasari adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Pangeran Antasari lahir dengan nama kecil Gusti Inu Kartapati, anak dari seorang ayah bernama Pangeran Mas'ud bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah, dan ibunya, Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Beliau lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, pada tahun 1797. Namun ada fakta yang menyebutkan bahwa Pangeran Antasari lahir pada tahun 1809. Beliau masih keturunan dari Kesultanan Banjarmasin, tetapi hidup dan dibesarkan di luar lingkungan istana, tepatnya di Antasan Senor, Martapura. Kericuhan yang sering terjadi di kalangan para petinggi dan penguasa kesultanan, menjadikan cicit dari Sultan Aminullah ini kian tersisih, mesekipun sebenarnya beliau adalah salah satu pewaris sah tahta Kesultanan Banjar. Ketika Sultan Adam meninggal dunia pada tahun 1857, Belanda kemudian mengangkat cucunya, Pangeran Tamjidillah, menjadi Sultan pewaris tahta. Sultan Adam seharusnya mewariskan tahtanya pada putra beliau yang bernama Pangeran Abdulrachman, ( ayah dari Pangeran Tamjidillah ). Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan setelah Pangeran Abdulrachman lebih dulu meninggal dunia pada tahun 1852 ( 5 tahun sebelum kepergian Sultan Adam ). Pengangkatan ini akhirnya banyak menimbulkan masalah. Hal tersebut didasari alasan bahwa ibu dari Pangeran Tamjidillah adalah orang Cina. Ditambah lagi dengan kegemarannya pada minuman keras ( tuak ) dan seringkali bermabuk - mabukan membuat para bangsawan, ulama, dan rakyat Banjar tidak setuju atas pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan. Yang lebih mereka sukai adalah putra Abdulrachman yang lain, yakni Pangeran Hidayatullah. Beliau selain putra dari seorang wanita bangsawan, juga berperangai baik. Akan tetapi Pangeran Tamjidillah sudah mendapat dukungan yang besar dari Belanda sebagai sultan dan akhirnya Pangeran Hidayatullah hanya diangkat sebagai seorang mangkubumi ( patih ).


Pangeran Antasari mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Ratu Antasari ( menjadi Ratu Sultan setelah menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman, akan tetapi suaminya meninggal lebih dulu sebelum sempat memberi keturunan ). Pangeran Antasari dikenal tidak hanya sebagai pemimpin Suku Banjar, namun beliau juga merupakan pemimpin dari Suku Siang, Sihong, Kutai, Ngaju, Maanyan, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku  lainnya yang bermukim di kawasan dan pedalaman sepanjang Sungai Barito. Setelah Sultan Hidayatullah ditipu secara licik oleh Belanda, dimana Belanda menyandera sang ibunda dari Pangeran Hidayatullah, Ratu Siti, maka Sultan kemudian diasingkan ke daerah Cianjur. Atas kejadian ini membuat perjuangan rakyat Banjar kemudian dilanjutkan oleh Pangeran Antasari. Beliau diangkat sebagai pemimpin rakyat karena penuh dengan dedikasi terhadap rakyat Banjar, selain karena silsilahnya sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai seorang pemimpin dari perjuangan umat Islam di Banjar Utara ( wilayah Muara Teweh dan sekitarnya ), maka pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran Antasari mulai menyeruan slogan : “ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”. Hal ini membuat seluruh pejuang yang berada di barisan belakang beliau menjadi terbakar semangat juangnya. Seluruh rakyat, para pejuang, para alim ulama dan para bangsawan dari Banjar; menyatukan suara untuk mengangkat Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, yang berarti :  Pemimpin Pemerintahan, Panglima Perang sekaligus Pemuka Agama Tertinggi.  Beliau dinobatkan sebagai Pimpinan Pemerintahan Tertinggi di dalam Kesultanan Banjar ( dengan kata lain, beliau diangkat menjadi Sultan Banjar ) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para ketua / kepala suku Dayak dan seluruh adipati ( gubernur ) yang berkuasa di wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati / Tumenggung Yang Pati Jaya Raja. 
Tidak ada alasan baginya untuk berhenti berjuang melawan para penjajah, apalagi setelah ia menerima kepercayaan yang diberikan oleh Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari bertekad untuk melaksanakan tugas tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab terutama atas dasar berjihad di jalan Allah dan berjuang untuk kemerdekaan rakyat. Pada suatu ketika, pertempuran terjadi untuk mengusir para penjajah. Lanting Kotamara ( semacam panser / tank yang terapung di sungai Barito ) ketika itu bertempur melawan Kapal Celebes milik Belanda dekat dengan pulau Kanamit, wilayah Barito Utara. Perang Banjar pun pecah pada tanggal 25 April 1859, dimana Pangeran Antasari dengan tiga ratus orang pejuangnya menyerang aset tambang batu bara milik Belanda di daerah Pengaron. Selanjutnya banyak peperangan yang terjadi antara pasukan Banjar, yang dikomandoi langsung oleh Pangeran Antasari, melawan tentara Belanda. Dengan bantuan dari para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari pun mulai menyerang pos - pos pendudukan Belanda di daerah Martapura, Tanah Laut, Tabalong, Hulu Sungai, Riam Kanan, hingga sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Pertempuran itu berlangsung sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan para penjajah, dan terus berlangsung di berbagai medan pertempuran. Pasukan Belanda, yang dibantu oleh pasukan dari Batavia ( sekarang Jakarta ) dan dilengkapi dengan persenjataan yang modern, akhirnya berhasil mendesak pasukan Khalifah Antasari. Hal itu membuat mereka akhirnya memindahkan markas pusat / benteng pertahanan di wilayah Muara Teweh. Berkali - kali Belanda berusaha untuk membujuk Pangeran Antasari agar menyerah, namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Beliau tetap pada pendiriannya, bahkan semakin menantang Belanda agar segera angkat kaki dari tanah Banjar. Hal ini secara tegas disebutkan pada suratnya yang ditulis di Banjarmasin pada tanggal 20 Juli 1861. Surat tersebut ditujukan kepada pemimpin pasukan Belanda kala itu, Letnan Kolonel Gustave Verspijck. Tentu saja hal itu membuat Belanda mulai kewalahan akan sepak terjang Pangeran Antasari dan para pejuangnya. Dalam suatu kesempatan, Belanda pernah membuat sebuah sayembara dan menawarkan hadiah yang sangat besar kepada siapa saja yang mampu menangkap atau membunuh Pangeran Antasari. Imbalan hadiahnya ketika itu sebesar 10.000 gulden. Namun hingga perang usai, tidak ada seorang pun yang berniat untuk menerima tawaran ini. Mereka ( rakyat Banjar ) tidak mau mengkhianati saudara sebangsa dan setanah air. Mereka lebih memilih mati sebagai seorang pejuang yang berjihad, ketimbang memperoleh kedudukan dan harta berlimpah namun menjadi musuh bangsanya.


Setelah berjuang melawan kekejaman dan penindasan para penjajah demi kemerdekaan rakyat Banjar, Pangeran Antasari akhirnya wafat di tengah - tengah para pejuangnya yang setia, dalam usia 75 tahun. Pangeran Antasari menghadap kepada Sang Maha Kuasa pada tanggal 11 Oktober 1862 di Bayan Begok, Sampirang, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Beliau pergi dengan segala kehormatan, keberanian, keikhlasan, tanpa kenal lelah, tanpa pernah menyerah, tanpa pernah tertangkap, apalagi tertipu oleh rayuan Belanda. Sebelum Pangeran Antasari wafat, beliau sempat terkena sakit paru - paru dan cacar akibat pertempuran yang terjadi di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Pangeran Antsari meninggalkan dua selirnya ( Ratu Antasari dan Nyai Fatimah ) beserta 3 orang putera dan 8 orang puteri. Perjuangan beliau kemudian dilanjutkan oleh dua puteranya yang bernama Sultan Muhammad Seman dan Pangeran Muhammad Said ( berjuluk Mangkubumi Panembahan Muda ), serta cucu - cucunya yakni Pangeran Perbatasari ( berjuluk Sultan Muda ) dan Ratu Zaleha. Setelah jasadnya terkubur selama hampir 91 tahun lamanya di daerah hulu sungai Barito, dengan persetujuan dari pihak keluarga dan keturunannya, maka pada tanggal 11 November 1958 rakyat Banjar melakukan pengangkatan kerangka beliau. Dari kerangka tersebut, hanya tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut yang terlihat masih utuh. Kerangka itu kemudian kembali dimakamkan di Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, kabupaten Banjarmasin. Pangeran Antasari sendiri akhirnya dianugerahkan gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan Indonesia. Gelar ini diresmikan pada tanggal 23 Maret 1968 oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06 / TK / 1968 di Jakarta. Nama Antasari kemudian diabadikan sebagai nama Komando Resort Militer ( Korem ) 101 / Antasari dan dijadikan ikon untuk propinsi Kalimantan Selatan : Bumi Antasari. Untuk mengenang dan menghargai segala jasa – jasa dan pengorbanannya, serta lebih mengenalkan beliau pada generasi muda, Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia ( BI ) telah mencetak dan mengeluarkan pecahan uang kertas Rp 2.000,- dengan nama dan lukisan wajah Pangeran Antasari.

Hingga saat ini, makam Pangeran Antasari masih terjaga dan terawat rapi. Makam tersebut berada di tengah - tengah sebuah komplek pemakaman umum yang terletak di dekat masjid Jami’ ( masjid tertua kedua di Banjarmasin ). Di atas areal pemakaman tersebut, dibangun sebuah bangunan seperti rumah yang tidak terlalu besar, yang di dalamnya terdiri atas 5 makam. Pusara milik Pangeran Antasari sendiri berada di sebelah kiri dekat pintu masuk, dan diberi pagar. Sedangkan di sebelah kanan pintu masuk terdapat sebuah makam milik seorang pejuang kelahiran Buntok Baru, Barito Utara, pada tahun 1852, yakni Panglima Batur. Beliau merupakan seorang panglima dari suku Dayak yang telah masuk Islam. Ketika bertempur dalam perang Barito ( kelanjutan dari perang Banjar ), panglima Batur merupakan panglima yang setia dan mengabdi pada masa kesultanan Muhammad Seman. Beliau kemudian meninggal pada tanggal 5 Oktober 1905, di Banjarmasin, dalam usia 53 tahun. Makam berikutnya adalah makam Hasanuddin HM ( Hasanuddin bin Haji Madjedi ), pahlawan Ampera di Kalsel. Ia mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang meninggal tahun 1966. Makam berikutnya adalah makam Ratu Antasari, istri dari Pangeran Antasari. Satu lagi adalah makam Ratu Zulaiha, puteri dari Sultan Muhammad Seman.